Aliran Ahlussunah Waljamaah Priode Salaf

 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V1
                                                                                             AHLUSUNAH WALJAMAAHA.
A. Pengertian Ahlussunah Waljamaah
Ahlusunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh kepada sunah nabi SAW(hadits), Jama¶ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan sadr al-Syari¶ah al-Mahbubi yaitu µAmmah Al-muslimin (umumnya umat islam) dan Al-Jama¶ah al-katsir wa al-sawad al-a¶zam (jumlah besar dan hal layak ramai) istilah ahlussunah wal-jama¶ah dinisbahkankepada aliran teologi asy¶ariyah dan maturidiyah yang berpegang kuat kepada sunnah nabi Sawdan merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat islam. Sebaliknya, mu¶tazilah sebagaigolongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah nabi SAW dan sejak semula kelompok minoritas dalam kelompok masyarakat islam pada waktu itu. Ahlu sunnah wal-jama¶ah sangat percaya dan menerima hadits-hadits shohih tanpa memilih dan melakukan interpretasi. Termahlu sunnah wal-jama¶ah muncul setelah adanya asy¶ariyah dan maturidiyyah. Tetapi sebagian pemikir mengatakan bahwa istilah ahlussunah wal-jama¶ah suddah digunakan sebelum asy¶arilahir. Contohnya, dalam surat Khalifah Al-Ma¶mun kepada gubernurnya Ishak Ibn Ibrahim tahun218 H, tercantum kata-kata wa nasabu ila anfusahum ila al-usunnah (mereka mempertalikan diridengan sunnah ), dan kata-kata
ahl al-Haq wa al-Din wa al-Jama¶ah
( ahli kebenaran, agama,dan jama¶ah).Al-Asy¶ari dan
 Maqalat al-Islamiyah
(aliran-aliran teologi dan pandangannya dalamislam), menyebut Ahlu sunnah Wal jama¶ah sebagai Ahl al al-Hadits wa As-Sunnah ( golonganyang berpegang pada hadits dan sunnah). Dalam kitabnya yang lain, Al-Ibanah ( penjelasan ) beliau menyebut Ahlu sunnah Waljama¶ah sebagai Ahl al-Haqq wa As Sunnah (golongan yang berpegang kepada kebenaran dan sunnah nabi SAW) dari semua ini, yang lebih populer adalahAhlu Sunnah Waljama¶ah, sering juga disebut golongan sunni. Penyebutan Ahlu SunnahWaljama¶ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti,Syi¶ah, Khawarij, Murji¶ah dan Mu¶tazilah. Para imam madhab Fiqh seperti Imam Abu Hanifah(W. 105 H), Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi¶I dan Imam Ibn Hambal dikenal sebagaitokoh-tokoh Ahlu sunnah sebelum munculnya Imam Al-Asy¶ari, Imam Al-Maturidi dan yang

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V2
lainnya sebagai tokoh mutakallimin (ahli ilmu kalam) dari kalangan Ahlu Sunnah pada abad ke3 H.Kaum Ahlu sunnah Waljama;ah sebagai kaum yang menganut I¶tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. Diantara mereka ada yang disebut salaf yaituulama terdahulu yakni generasi awal mulai dari para sahabat, tabi¶in dan tabi¶at tabi¶in dankhalaf yaitu generasi penerus yang datang kemudian. Yang termasuk ulama salaf diantaranyaAhmad Ibn Hambal, Ibn Taimiyah dan Muhammad Ibn Abdul Wahab. Sementara itu, yangtermasuk ulama khalaf seperti al-Asy¶ari Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali, As-Sanusi, Al-Maturidi, Al-Bazdawi dan Al-Nasafi. Generasi salaf merupakan generasi yang mempercayaikebenaran ayat-ayat Mutasyabihat dan membenarkannya. Sedangkan generasi khalaf  berpandangan bahwa menyerahkan arti yang haqiqi dari ayat-ayat mutasyabihat kepada Allahsendiri, dan memberikan makna ayat-ayat tersebut secara harfiyah denganIstilah ³lam laa kaiqa bil´ dengan alas an at-tafwidl (penyerahan total). Pentafwidllan inimenggunakan penafsiran yang berpandangan sesuai dengan ke-Maha sucian dan ke-Mahaagungan Allah serta lebih menjauhkan diri sikap penyerupaan (Tasbih) terhadap Allah dengansifat-sifat makhluk atau bias di sebut ta¶wil. Disini lah terlihat jelas cirri dari Ahlus sunnah WalJama¶ah yang selalu mengambil sikap jalan tengah (At-Tawassah) dalam metode dan pola pikir.

B. Memahami Manhaj Salaf

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa yang dimaksud generasi salaf adalah mereka yang hidup sebagai generasi pertama ummat yang terdiri dari para shahabat, tabi’in serta para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun terbaik yang dimuliakan. Para ulama lain menambahkan, mereka adalah orang-orang yang dikenal betul keimanan dan keutamaannya, serta keittibaannya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Karim al-‘Aql dalam
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqidah. Maka secara umum, definisi salaf tidak akan pernah lepas dari pembicaraan seputar shahabat, shahabat dan tabi’in atau shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Hal ini sesuai dengan kesimpulan yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Hadi al-Mishri dalam Ma’alimul Inthilâqatil Kubra Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut:
Setiap definisi yang disandarkan kepada salaf, maka tidak lepas dari generasi shahabat, shahabat dan tabi’in, atau shahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka yang terdiri dari imam-imam yang diakui keutamaannya serta mengikuti kitabullah dan sunnah nabiNya”. (Abdul Hadi al-Mishri, hal. 51)
Mengapa Harus Shahabat Dan Pengikutnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk kepada atsar shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad:
“Barang siapa hendak menjadikan tauladan, teladanilah para shahabat rasulullah saw., sebab mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka mengada-ngada), paling lurus petunjuknya dan paling baik perilakunya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani nabiNya dan menegakkan agamaNya. Karena itu, hendaklah kalian mengetahui keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada diatas jalanNya yang lurus.” (Abdul Hadi al-Mishri, hal. 31)
Maka, sesuai dengan makna bahasa (lughawi), salaf memiliki pengertian ‘nenek moyang yang lebih dahulu dan utama’, sebagaimana Ibnu Manzhur menjelaskan dalam kitabnya Lisânul ‘Arab. Adapun kaitannya dengan shahabat, karena merekalah orang-orang yang lebih dahulu memahami Islam dan memiliki keutamaan.
Manhaj Salaf Adalah Manhaj Islam
Dalam membicarakan manhaj salaf, tentu tidak lepas dari pembahasan manhaj Islam secara keseluruhan, dimana keduanya tidak dapat dilepaskan dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri. Dengan mengacu kepada dalil agama (QS. Al-Maidah/ 5: 3) yang menyebutkan agama telah sempurna dan Q.S. Ali Imran/ 3: 85 yang menegaskan hanya Islam agama yang diridhai. Maka Islam memiliki karakteristik sebagai berikut: sumber yang senantiasa mengacu kepada wahyu (rabbaniyatul mashdar) baik al-Qur`an maupun as-Sunnah, universal dan integral dalam semua urusan kehidupan di dunia dan akhirat (syâmil), diutusnya rasulullah untuk sekalian manusia (kaffah) dengan membawa kabar gembira (basyiran) dan kabar ancaman (nadzîran) dan Islam merupakan agama pertengahan dalam ‘aqidah, ibadah, undang-undang dan moral (wasathiyah bainat tafrith wal ifrath; adil di antara sikap ekstrim dan sikap berlebihan). Dengan demikian, manhaj Islam sering dikatakan manhaj pertengahan. (lihat DR. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Al-Wasathiyah fil Islam Ta’rif wa Tathbîq)
Disamping Islam memiliki manhaj pertengahan (Q.S. al-Baqarah/2:85), Islam pun memiliki ajaran dengan maksud dan tujuan agama yang jelas (al-ghâyah al-wâdhihah) serta aturan yang jelas pula. Keduanya bersandar kepada dua hadits rasulullah saw. yang sangat populer:
Pertama “Innamal a’mâlu bin niyyât wa innama likullimriin mâ nawâ”, bahwasanya amalan-amalan itu tergantung pada niat, dan bagi setiap orang tergantung apa yang diniatkannya. (H.R. Muslim 3/1515)
Kedua: “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunâ fahuwa raddun”, barang siapa beramal tanpa ada contoh dari kami, maka amalannya tertolak”. (H.R. Muslim 3/1344)
Yang pertama berhubungan dengan maksud (maqâshid), dan yang kedua berhubungan dengan aturan yang wajib diikuti (mutâba’ah).
Berkata sebagian ulama salaf:
“Perbuatan apa saja sekalipun kecil, akan berserakan, melainkan berkumpul padanya dua pertanyaan:  “lima fa’alta?” (mengapa engkau lakukan begitu?) dan “kaifa fa’alta?” (bagaimana engkau melakukannya?). Yang pertama bertanya tentang alasan mengapa perbuatan itu dilakukan, apakah dorongan itu muncul karena ibadah ataupun datang tiba-tiba. Yang kedua bertanya bagaimana cara melakukan ibadahnya itu.” (Ibnu Qayyim, Ighâtsatul lahfan dalam al-Wasathiyyah, hal. 27)
Menyimak apa yang dijelaskan tersebut dan hubungannya dengan manhaj salaf, bahwa pemahaman agama mereka (kaum salaf) tidak dapat keluar dari dua persoalan yang tidak dapat dipisahkan antara i’tiqadiyyah dengan amaliyyah (meminjam bahasa DR. Shalih bin Fauzan) atau at-talâzum bainas syari’ah wal ‘aqîdah, terpadu antara ‘aqidah dengan syari’ah (meminjam istilah  DR. Abdul Karim al-‘Aql). (lihat ‘Aqîdatut Tauhîd, hal. 5 dan kitab Ad-Dînu kulluhu lillâh)
Dengan demikian, apa yang menjadi dasar pijakan mereka dalam manhaj agamanya adalah sama, baik manhaj syari’ahnya ataupun manhaj ‘aqidahnya. Karena dalam pandangan mereka apabila pandangan ‘aqidah seseorang benar, maka harus benar pula pandangan ibadahnya, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, telah banyak buku-buku para ulama yang menerangkan tentang manhaj mereka, yang semuanya hampir tidak dapat melepaskan titik tolaknya adalah dari ‘aqidah, misalnya Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah oleh DR. Nashir Abdul Karim al-‘Aql , Mashâdirul Istidlâl ‘Alâ Masâilil I’tiqâd oleh Utsman ‘Ali Hassan dan Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf oleh DR. Abdul Muhsin at-Turki.
Dalam kaidah-kaidah fiqihnya, misalnya Qawâid Fiqhiyyah Imam as-Sa’di, Maqâshid Syari’ah ‘inda Ibni Taimiyyah oleh DR. Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, ad-Duratul Bahiyyah fit Taqlîd wal Madzhabiyyah min Kalâmi Syaikhil Islâm Ibni Taimiyyah oleh Muhammad Syâkir as-Syarîf dan lain-lainnya. Ini semua merupakan kitab-kitab baru. Tentu saja kitab-kitab lama sebagai sumber primer jauh lebih banyak dan luput dari penggalian para penuntut ilmu.
Sekedar mengetahui gambaran umum dari pemahaman manhaj salaf ini, dapat dilihat dalam pokok-pokok ajaran dakwah salafiyyah yang dikemukakan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagai berikut;
selalu mengikuti kitabullah dan komitmen terhadap sunnah nabiNya, menjauhkan bid’ah, mengedepankan tauhid, menuntut ilmu yang bermanfa’at, melakukan tashfiyyah (pensucian jiwa) dan tarbiyyah (menghidupkan ilmu), menjauhi fanatik hizbi (golongan) dan jumud dalam bermadzhab, menghidupkan alam pikiran Islam yang benar dengan merujuk kepada kitabullah dan sunnah serta amalan salaful ummah. (‘Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 22)
Maka bila dicermati dari pengertian manhaj atau minhaj (artinya: jalan yang terang), Allah ‘Azza wa jalla menuliskannya dalam al-Qur`anul karim secara beriringan dengan kata syir’ah (artinya: ajaran) yakni “likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhâjan”, bagi tiap-tiap ummat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Q.S. Al-Maidah/5: 48)
Ar-Raghib al-Asbahani menjelaskan dalam mufradatnya dengan menukil pendapat Ibnu ‘Abbas ra. bahwa kata syir’ah mengandung makna semua yang dibawa al-Qur`an, sedangkan minhaj adalah semua yang dibawa as-Sunnah. (lihat Ali Abdul Halim Mahmud dalam Nahwa Manhaj Buhuts Islami)
Dengan demikian, disebut manhaj salaf adalah metode memahami al-Qur`an dan as-Sunnah (sumber ajaran Islam) berdasarkan pemahaman salaful ummah.
Salafi dan Salafiyyah
Muncul sebuah pertanyaan, bolehkah seseorang menyebut dirinya atau menyebut orang lain dengan istilah ‘Salafi’? Demikian pula dengan sebutan ‘Salafiyyah’ untuk menunjukkan aktifitasnya?
Dalam hal ini, para ulama berkomentar:
·         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Beliau mengatakan: “Tidak tercela madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab itu, bahkan wajib menerima hal itu dengan sepakat, karena tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, 4/149)
·         Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Beliau pernah ditanya: bagaimana pendapat anda tentang orang yang menamakan dirinya ‘salafi’, apakah ini termasuk memuji diri?. Beliau menjawab:
“Apabila dia benar-benar ‘pengikut atsar’ atau seseorang yang ‘mengikuti manhaj salaf’ tidaklah mengapa seperti halnya para ulama salaf terdahulu mengatakan: si fulan bermanhaj salaf (salafi), si fulan memegang teguh atsar (atsari). Ini adalah pujian yang harus.” (dikutip oleh Syaikh Shalih Fauzan, hal. 13-14)
·         Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid
Beliau mengatakan: “Jadilah engkau orang yang berpegang dengan madzhab salaf yang mengikuti jejak pendahulunya yang shaleh dari para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dalam semua permasalahan agama seperti tauhid, ibadah dan yang lainnya.” (Abu Zaid, Hilyah Thâlibil Ilmi, hal. 12)
·         Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Beliau mengatakan: “Menisbatkan diri dengan ‘Saya Muslim’ atau ‘Madzhabku Islam’ tidaklah cukup. Karena semua firqah –zaman ini- sudah terang-terangan mengatakan: “saya seorang rafidhah atau syi’ah, saya seorang ibadhiyah (salah satu sekte Khawârij), saya seorang qadyaniyah (penganut ahmadiyyah qadyan) dan lain-lain. Lalu manhaj apa yang akan menjadi keistimewaanmu dari mereka?. Kalau engkau katakan: saya seorang muslim yang berpegang teguh terhadap kitabullah dan sunnahnya saja, belumlah cukup, karena golongan-golongan semisal ‘Asy’ariyah, Maturidiyyah dan golongan-golongan lainnya meninggalkan dua pokok pijakan tersebut. Maka tidak ragu lagi sesungguhnya penamaan yang bagus, jelas dan tegas, kita katakan: “saya muslim yang berpegang kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mengikuti manhaj salafus shâlih. Diringkas menjadi: “saya seorang salafi.” (Amr Abdul Mun`im, al-Manhaj as-Salafi inda as-Syaikh Nashîruddin al-Albani, hal. 21)
Adapun salafiyyah, kita nukilkan pandangan Muhammad Nashiruddin al-Albani bersama muridnya Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilaly, yaitu:
·         Salafiyyah adalah nisbat kepada salaf, dan ini adalah penisbatan terpuji kepada manhaj yang benar dan bukanlah manhaj baru yang dibuat-buat. (lihat buku limadza ikhtartu al-Manhaj as-Salafi dalam Amr Abdul Mun`im, hal. 17)
Namun pandangan dimaksud mendapatkan kritikan dari tokoh lainnya, diantaranya DR. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya “Assalafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubârakatun lâ Madzhabun Islâmiyyun”; Salafiyyah Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab.
Diantara kritikannya adalah: mengklaim adanya madzhab baru yang disebut madzhab salaf adalah bid’ah; sekiranya ada keharusan untuk menisbatkan diri dengan sebutan ‘salafiyyin’ maka tentu saja kalimat ‘shahabiyyin’ lebih shahih atau ‘rasyidiyyin’ lebih memiliki hujjah sesuai dengan sabdanya: “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafâur rasyidin”. Beliaupun mengatakan: tidak ditemukannya dalam sejarah, bahwa para ulama menjadikannya standar kebenaran itu dinisbatkan kepada madzhab yang disebut ‘madzhab salafiyah’ hari ini, beliaupun mengaitkan kemunculan madzhab ini dengan kemunculan kaum pembaharuan di Mesir yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada masa penyerahan kemerdekaan dari Inggris. Menurutnya, gerakan inipun ada titik temunya dengan gekaran wahabi di Nejed, sehingga ‘salafiyyah’ menjadi kata yang dipilih dalam menempuh gerakan pembaharuan dengan perbandingan selalu mengumandangkan syi’ar (keagungan) Islam dan mengagumi atas kepahlawanan generasi ummat Islam periode awal. (lihat al-Buthi, hal. 272-301)
Berikutnya, bantahan balikpun muncul dari Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali dengan membawakan hadits rasulullah saw:
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang kaum yang kesaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (Tajrîdus  Sharih, Matan al-Bukhari 2/288)
Nampaknya, Syaikh Salim al-Hilâli keberatan dengan pandangan al-Buthi yang menyebutkan salafi sebuah fase sejarah saja (marhalah zamaniyyah) bukan madzhab. Menurutnya, periodesasi yang dimaksud adalah para shahabat yang mengikuti kitabullah dan sunnah nabiNya bukan sembarang orang yang hidup dalam periode ini dari kelompok-kelompok sesat yang telah muncul di zaman-zaman tersebut, melainkan orang-orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj diatas pemahaman rasulullah saw. dan para shahabatnya. Oleh karena itu para ulama mengaitkan istilah ini dengan As-Salafus Shalih.
Masih menurutnya, beliau menafikan orang-orang yang menyangka bahwa salafiyyah adalah perkembangan baru dari jama’ah islamiyyah yang baru, yang melepaskan diri dari lingkungan jama’ah islam yang satu dengan mengambil untuk dirinya satu pengertian yang khusus dari makna nama ini saja sehingga berbeda dengan kaum muslimin yang lainnya dalam masalah hukum, kecenderungan-kecenderungan bahkan tabi’at dan norma-norma etika.
Mengenai kaitannya dengan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, hanyalah rekaan prasangka salah satu kaum yang tidak menyukai kata yang baik yang penuh barakah ini, dimana didalamnya mengandung dakwaan yang salah, diantaranya:
1.       Gerakan yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh bukanlah salafiyah, melainkan gerakan aqliyah khalafiyah dimana mereka menjadikan akal sebagai penentu dari pada naql.
2.       Banyaknya penelitian seputar hakikat al-Afghani yang banyak memberikan syubhat (keragu-raguan), membuat orang was-was dan berhati-hati darinya.
3.       Bukti-bukti sejarah telah menegaskan seputar keterpedayaannya dengan gerakan Masoni.
4.       Pengkaitan as-Salafiyah dengan gerakan al-Afghani dan Muhammad Abduh adalah tuduhan jelek terhadapnya walaupun secara tersembunyi dari apa yang telah dituduhkan mereka kepadanya dari keterikatan dan motivasi yang tidak jelas. (lihat Mengapa Memilih Manhaj Salaf, hal. 40-41; baca pula Salafi digugat Salafi Menjawab oleh Syaikh DR. Shâlih al-Fauzan dan buku Menjawab Modernisasi Islam karya Muhammad Hamid an-Nâshir).
Khatimah
Dari pengamatan sederhana ini, kita dapat memahami, pada dasarnya ada kriteria-kriteria manhaj salaf yang sudah menjadi pegangan keyakinan dan amalan yang sedang dilakukan sekalipun tanpa menonjolkan kesalafannya. Semua ini, semoga menjadi modal dan motivasi bagi kita dalam terus berusaha menuntut ilmu dan tafaqquh fid dîn yang sudah menjadi tradisi ilmiyyah para salafus shâlih ridwânullâh ‘alaihim sebagai generasi terbaik.
Oleh karenanya, berusaha untuk mencontoh mereka (dalam ilmu dan amal) sejauh usaha dan kemampuan kita, tentu jauh lebih mulia ketimbang sibuk menisbatkannya.
C. Kronologi Sejarah Ahlusunnah Waljamaah
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam bermula dari abad-abad permulaan(mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sehinggalah sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang saling bertentangan diantara satu sama lain. Inifakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan jelas Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan. Semua ini sudah tentunya dengankehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti.Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita ikuti dan panuti agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitudengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama¶ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telahmenjanjikan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad, bahwa umatnya tidak akan tersesat selamadiri mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V3

Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa merekayang menyimpang dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah WalJama¶ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I¶tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yangdisabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril uang bermaksud : ³Iman adalah engkau mempercayaiAllah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk´. (H.R. al Bukhari dan Muslim)Perihal al-Jama¶ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama¶ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang bermaksud: ³Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudianmengikuti orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelahmereka³. Dan termasuk rangkaian hadits ini: ³Tetaplah bersama al-Jama¶ah dan jauhi perpecahan karena setan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (setan) dari dua orang akanlebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di syurga hendaklah ia berpegangteguh pada (keyakinan) al-Jama¶ah´. (H.R. at-Tirmidzi; berkata hadits ini Hasan Shahih jugahadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).Al-Jama¶ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalumelaksanakan shalat dengan berjama¶ah, jama¶ah masjid tertentu. Konteks pembicaraan haditsini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama¶ah adalah mayoritas umat Muhammaddari sisi jumlah(µadad). Penafsiran ini diperkuatkan juga oleh hadits. Yaitu hadits riwayat AbuDaud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat.Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kesesatanfirqah-firqah yang menyimpang. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyimpang ini, jikadibandingkan dengan pengikut Ahlussunnah Wal Jama¶ah sangatlah sedikit. Seterusnya dikalangan Ahlussunnah Wal Jama¶ah terdapat istilah yang populer yaitu ³ulama salaf´. Merekaadalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama¶ah yang hidup pada 3abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi yang maknanya: ³Sebaik-baik abad adalahabadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka´. (H.R. Tirmidzi)

Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mula tercetus bid¶ah Mu¶tazilah,Khawarij, Musyabbihah dan lain-lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat fahaman ataumazhab baru. Kemudian muncullah dua imam muktabar pembela Aqidah Ahlussunnah yaituImam Abu al-Hasan al-Asy¶ari (W. 324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) ± semoga Allah meridhai keduanya±menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama¶ah yang diyakini para sahabat Nabi Muhammad dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakandalil-dalil naqli (nas-nas al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumentasi rasional) disertaidengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Mu¶tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan ahli bid¶ah lainnya.Disebabkan inilah Ahlussunnah dinisbahkan kepada keduanya. Mereka; AhlussunnahWal Jamaah akhirnya dikenali dengan nama al-Asy¶ariyyun (para pengikut Imam Abu al-HasanAsy¶ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal inimenunjukkan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama¶ah. Karena sebenarnya jalanyang ditempuhi oleh al-Asy¶ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.Adapun perbedaan yang terjadi diantara keduanya hanyalah pada sebagian masalah-masalahfuru¶ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling berhujah dan berdebat atausaling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya terlepas dari ikatan golongan yang selamat(al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy¶ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti perselisihan yang terjadi diantara para sahabat nabi, tentang adakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi¶raj? Sebagian sahabat, seperti µAisyah dan Ibn Mas¶ud mengatakan bahwaRasulullah tidak melihat Tuhannya ketika Mi¶raj. Sedangkan Abdullah ibn µAbbas mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad atau membuka hijab sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy¶ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap bersama atau berfahaman dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafiz Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:³Jika dikatakanAhlussunnah wal Jama¶ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy¶ariyyah dan al-Maturidiyyah ³.(Al-Ithaf Syarah li Ihya Ulumuddin, juz 2 hlm 6)

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V5
Maka aqidah yang sebenar dan diyakini oleh para ulama salaf yang soleh adalah aqidahyang diyakini oleh al-Asy¶ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalahmerumuskan serta membuat ringkasan yang mudah (method) dan menjelaskan aqidah yangdiyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yangdiyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi¶i, Maliki,Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala¶ al-Hanabilah).Aqidah ini diajarkan di pondok-pondok Ahlussunnah di negara kita Malaysia, Indonesia,Thailand dan lain-lainnya. Dan Alhamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaummuslimin di seluruh dunia seperti Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syria, Jordan, Lubnan dan Palestin), Maghribi,Yaman, Iraq, Turki, Chechnya,Afghanistan dan banyak lagi di negara-negara lainnya.Maka wajib bagi kita untuk senantiasa memberi penuh perhatian dan serius dalammendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas. Karenailmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. AbuHanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karena mempelajari ilmu ini wajibdiutamakan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah selesai atau khatam mempelajari ilmuini barulah disusuli dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Inilah method yang diikuti para sahabatnabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini.Tradisi ini telah bermula dari zaman Rasulullah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Umar danJundub, maknanya: ³Kami ketika remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullahmempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur¶an. Kemudian kami mempelajari al-Qur¶an maka bertambahlah keimanan kami´. (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidzal-Bushiri).Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal ini karena ramainya golongan yangmenyalahgunakan nama Islam namun menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam(argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmukalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yangmenyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi, ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian; ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V6
menyalahi aqidah Islam karena dikarang dan dipelopori oleh golongan-golongan yang sesatseperti Mu¶tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid¶ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmukalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpujikarena pada hakikatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsipaqidah dalam formatnya yang sistematik dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqlidan aqli. Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Diantaranya, Imam Aliibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kukuh dapat mengalahkan golongan Khawarij,Mu¶tazilah dan juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allahadalah jisim (benda). Demikian pula Abdullah ibn Abbas, Al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib danAbdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu¶tazilah. Sementara dari kalangan tabi¶in; Imamal-Hasan al-Bashri, Imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu Sayyidina Ali ibn AbiThalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu¶tazilah. Kemudian juga para imam dari empat mazhab; Imam Syafi¶i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan ImamAhmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dinukilkan oleh al-ImamAbu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibnµAsakir (W 571 H) dalam kitab Tabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H)dalam kitab Tasynif al-Masami¶ dan al µAllamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain. Allah berfirman yang bermaksud: ³Maka ketahuilah bahwa sesungguhnyatidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu´.(Muhammad :19) Ayat ini sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitudengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk  beristighfar yang merupakan furu¶ (cabang) agama. Ketika Rasulullah ditanya tentang sebaik- baiknya perbuatan, beliau Menjawab,maknanya: ³Iman kepada Allah dan rasul-Nya´. (H.R.Bukhari) Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda,maknanya: ³Akulah yang palingmengerti diantara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya´. (H.R. Bukhari)Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasanaqidah Ahlussunnah Wal Jama¶ah ini. Seperti Risalah al-¶Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja¶far ath-Thahawi (W 321 H), kitab alµAqidah an-Nasafiyyah karangan al

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V7
Imam µUmar an-Nasafi (W 537 H), al-µAqidah al-Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Dinibn µAsakir (W 630 H), al µAqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibnHibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul,kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil dimadrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al µAqidah ash-Shalahiyyah. Sultan Shalahuddin adalah seorang µalim yang bermadzhab Syafi¶i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al µAqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan paramuadzdzin untuk mengumandangkan al µAqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzanshubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina danLebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi(W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al µAqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung. Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal duniadengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasulAllah. Amin.
D. Pandangan Jumhur Ulama Tentang Aqidah Ahlussunnah WalJamaah
Ibnu µAbidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar µala ad-Durr alMukhtar : ³Ahlussunnah Wal Jama¶ah adalah al Asya¶irah dan al Maturidiyyah´. Dalam kitabµUqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : ³Aqidahku adalah aqidahAsy¶ariyyah Hasyimiyyah Syar¶iyyah sebagaimana Aqidah para ulama madzhab syafi¶i danKaum Ahlussunnah Shufiyyah´. Bahkan jauh sebelum mereka ini Al-Imam al µIzz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahawa aqidah al Asy¶ariyyah disepakati oleh kalangan pengikutmadzhab Syafi¶i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhabHanbali (Fudlala al-Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al µIzz ibn Abd as-Salam inidisetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu µAmr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab

//

//
 Ahlu Sunnah Waljamaah /
Kel.V8
Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, jugadisetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.
E. Garis Panduan Aqidah Asyariyyah
Secara garis besar aqidah asy¶ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama¶ahadalah meyakini bahwa Allah ta¶ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang boleh digambarkan, dan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allahtidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai¶). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi kewujudan-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yangmelemahkan-Nya, serta Allah tidak diliputi arah. Allah ada sebelum menciptakan tempat tanpatempat, Allah wujud setelah menciptakan tempat dan tanpa bertempat. tidak boleh ditanyakantentangnya bila, dimana dan bagaimana ada-Nya. Allah ada tanpa terikat oleh masa dan tempat.Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dananggota badan yang kecil. Allah tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Allah tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu denganmakhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya. Allah tidak terjangkau olehfikiran dan tidak terbayang dalam ingatan, kerana apapun yang terbayang dalam benakmu makaAllah tidak seperti itu. Allah maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar danmaha melihat. Allah berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yanglain juga azali, kerana Allah berbeza dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh dia telah kafir.Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Alah juga yangmenentukan rezeki dan ajal mereka. Tidak ada yang boleh menolak ketentuan-Nya dan tidak adayang boleh menghalangi pemberian-Nya. Allah berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Allahkehendaki. Allah tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akandiminta dipertanggungjawakan atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Allah kehendaki pastiterlaksana dan yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Allah bersifat dengankesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan. NabiMuhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Nabi Muhammad diutuskan olehAllah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Nabi Muhammad jujur dalam setiap apa yang disampaikannya.

E. Ilmu Kalam Priode Salaf
Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan menyebarkan ilmu tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah, karenanya perkembangan ilmu tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya.Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w 68 H) dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan Tabi’in, seperti Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imamal-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang  menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid sebagai bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah adalah “Barang siapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah -artinya seorang yang kafir-”.

Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan beliau telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imam Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imam Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim, salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Kemudian al-Imam al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri dalam bergelut dengan Ilmu Kalam ini.

Masalah:

Jika ada yang berkata: Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khaliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!.

 

Jawab:

Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar Shahih dari sahabat Ibn ‘Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengetahui, maha kuasa, maha berkehendak, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan berbagai perkara lainnya. Karenanya, tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama salaf maupun khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.

Adapun pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, statemen ini tidak benar adanya dari al-Imam Syafi’i. Tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah barkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanadnya adalah:

لَأنْ يَلْقَى اللهَ العَبْدُ بِكُلّ ذَنْبٍ مَا سِوَى الشّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَلْقَاهُ بشَىءٍ مِنْ الأهْوَاءِ

“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaan membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwa’”.

Al-Ahwa’ adalah jamak dari al-Hawa. Artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur para ulama Salaf. Artinya, al-Hawa di sini ialah keyakinan-kayakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat. Seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah dan berbagai kelompok lainnya yang telah disebutkan dalam hadits Nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:

وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)

“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mamatahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; dua orang di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.

Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[1].

Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:

“Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam, Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh. Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[2].

Masalah:

Jika ada yang berkata: “Ada beberapa orang ulama Salaf yang telah mencaci Ilmu Kalam. Diriwayatkan bahwa as-Sya’bi berkata: “Barang siapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barang siapa mencari harta dengan kimia maka ia akan bangkrut. Dan barang siapa megajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits gharib maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imam Malik dan al-Imam al-Qadli Abu Yusuf (sahabat al-Imam Abu Hanifah).

Jawab:

Masalah ini telah dijawab oleh al-Imam al-Baihaqi. Beliau mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh mereka adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah tersebut. Adapun kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail sebelum kemudian Ilmu Kalam ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.

Masih menurut al-Baihaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan ilmu-ilmu Fikih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.

Kemudian al-Baihaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam untuk usaha memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya al-Imam Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fikih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kata al-Imam Hatim, barang siapa menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fikih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik. Dan barang siapa mencukupkan dengan amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah. Dan barang siapa mencukupkan dengan Ilmu Fikih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Dan barang siapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[3].

Al-Imam al-Qadli Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furu’iyyah. Dalam masalah ‘Aul misalkan, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek (permasalahan dalam hukum waris), atau metode  penetapan hukuman dan praktek qisas, serta berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antara mereka satu sama lainnya sama-sama melakukan Mubahalah (bersumpah) dalam menetapkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan permasalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dali untuk mematahkan pendapat lawan. Bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furu’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushuliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushuliyyah jauh lebih besar urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furu’iyyah?![4]

Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum Tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah sendiri?! Jika diklaim bahwa kaum Tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti kalim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Sekarang siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya, atau para ulama Salaf pada umumnya.

Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imam Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (kunyah) Abu Hanifah.

Pendapat yang mengingkari risalah tersebut sebagai tulisan al-Imam Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imam Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imam Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.

Dalam Ilmu Kalam, dan seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imam Abu Hanifah adalah Imam terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdadiyyah disebutkan sebagai berikut:

“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama Fikih Ahlussunnah adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risalah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsim (Meyakini bahwa Allah adalah benda). Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imam Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, -padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit-. Dan tentunya al-Imam Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.

 

Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dengan sanadnya hingga al-Imam Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini”[5]. Kemudian al-Imam Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari Ilmu Fikih setelah ia duduk belajar kepada al-Imam Hammad ibn Sulaiman, dan ia melakukan itu setelah ia mumpuni dalam Ilmu Kalam tersebut.

Dalam riwayat lain dengan sanadnya dari al-Haritsi, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata:

“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pula yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah”[6].

 

Al-Imam ‘Abd al-Qahir al-Bagdadi asy-Syafi’i, seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bain al-Firaq, dalam salah satu kitab karyanya berjudul Kitab Ushuliddin menuliskan sebagi berikut:

“Orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari kalangan para ahli Fikih adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Al-Imam Abu Hanifah telah menulis satu kitab sebagai bantahan terhadap kaum Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar. Sementara al-Imam asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahma, dan yang ke dua bantahan terhadap Ahl al-Ahwa’”[7].

 

Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshir Fiddin menuliskan sebagai berikut:

“Kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim karya al-Imam Abu Hanifah memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum ilhad (kaum kafir) dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan dengan sanad yang Shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imam Abu Hanifah, adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Barang siapa mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imam asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[8].

Tentang lima risalah al-Imam Abu Hanifah yang telah kita sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat bukan benar-benar dengan tulisan tangan al-Imam Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada  para sahabatnya; seperti Hammad ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn ‘Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu hanifah inilah yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah tersebut di atas.

Dari para sahabat al-Imam Abu Hanifah tersebut kemudian pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada generasi para ulama berikutnya. Di antaranya; Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’h, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih kepada al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah di atas sebagai karya al-Imam Abu Hanifah adalah pendapat benar. Hanya saja risalah-risalah itu adalah hasil pengisian (Imla’) beliau terhadap para sahabatnya yang kemudian dibukukan. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imam Abu Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya, adalah pendapat yang juga benar, karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi atau pembukuan mereka. Demikianlah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi.

Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imam asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Qiyas sebagai bantahan terhadap faham yang mengatakan bahwa alam tidak memiliki permulaan. Beliau juga telah menulis kitab dengan judul ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal ini al-Imam Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan al-Imam Malik ibn Anas dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka semua adalah para Imam yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Kemudian dari pada itu, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), pimpinan para ahli hadits, penulis kitab al-Jami’ as-Shahih, telah menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af’al al-‘Ibad. Sebuah kitab bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dengan secara rinci al-Imam al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia sendiri.

Kemudian ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imam al-Bukhari; al-Imam Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa kelompok sesat lainnya.

Demikian pula al-Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusi (w 242 H), juga seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan salah seorang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal, telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah al-Imam al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imam al-Husain al-Karabisi, dan al-Imam ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan. Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari Imam yang terakhir disebut; yaitu al-Imam Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.

Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih di masa Salaf, pasca al-Imam Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits juga ahli fikih, yaitu al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi sebagai penjabaran akidah al-Imam Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara keseluruhan. Yang hingga sekarang risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah ini menjadi sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, yang diterima dari masa ke masa dan antara generasi ke genarasi.

Walaupun al-Imam at-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imam Abu Hanifah, karena memang tidak semasa, namun ungkapan-ungkapan yang beliau tulis dalam risalahnya ini adalah perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah yang beliau kutip dengan sanadnya dari para murid-murid al-Imam Abu Hanifah sendiri. Dalam pembukaan risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-Imam at-Thahawi menuliskan sebagai berikut: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[9].

Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang agung, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dua Imam ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat, baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imam al-Asy’ari yang berada di wilayah Bashrah saat itu, beliau adalah sosok yang sangat ditakuti oleh kaum Mu’tazilah.

Al-Hafizh al-Lughawi al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:

“Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua Imam agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari madzhab dua imam agung; al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i. Beliau merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks madzhab al-Imam Abu Hanifah”[10].

 

Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ menuliskan sebagai berikut:

al-Imam Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan bahwa keagungan ajaran agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi. Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya  telah mendengar al-Mahamili berkata dalam pujiannya kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”. Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai kaum yang memiliki kedudukan, hingga kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji wijen, tidak memiiki kekuatan”[11].

Di kemudian hari, pasca al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua imam agung tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, puluhan bahkan ratusan jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqah-firqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum Filsafat, kaum Musyabbihah dan bahkan para ahli ramal (al-Munajjimun). Dan kemudian makin banyak bermunculan panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam.

Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah ini adalah; al-Imam al-Ustadz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imam Abu Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imam al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani (w 403 H). Dua imam yang pertama menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur. Sementara al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Tidak ada seorang ulamapun, baik ahli Fikih atau ilmu lainnya dalam ulama empat madzhab, kecuali di dalam akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah kelompok-kelompok kecil dari firqah Mu’tazilah, Musyabbihah dan beberapa gelintir orang-orang Musyabbihah.

Wa Shallallahu Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam.

Wa al Hamdu Lillah Rabbil ‘Alamin.

[1] Tabyin Kadzib al-Mutftari, h. 339

[2] Manaqib asy-Syafi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asma’ Wa as-Shifat karya al-Baihaqi, h. 252

[3] Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 334

[4] Ibid, h. 354

[5] Tarikh Baghdad, j. 13, h. 333

[6] Lihat Muqaddimah Isyrat al-Maram karya al-Imam al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imam as-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manaqib al-Imam Abi Hanifah.

[7] Kitab Ushuliddin, h. 308

[8] at-Tabshir Fiddin, h. 113

[9] Lihat matan al-‘Akidah at-Thawiyyah dalam Izhar al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Akidah at-Thawiyyah, karya al-Hafizh as-Syaikh ‘Abdullah al-Habasyi, h. 341

[10] Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 13

[11] Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’, h. 395

Tinggalkan komentar