Maqamat Dan Hal

BAB I

PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang Masalah

Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk mendamaikannya.

Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan.

 B.     Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah terpapar dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yaitu:

  1. Apa pengertian maqamat?
  2. Berapakah jumlah maqamat di dalam tasawuf?
  3. Apa pengertian hal/ahwal?
  4. Apa perbedaan antara maqamat dengan hal?
  5. Apa saja macam-macam hal?

BAB II

PEMBAHASAN

 A.    Pengertian Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[1] Istilah ini selanjutnya di gunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditepuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[2] Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

 B.     Jumlah Maqamat Dalam Tasawuf

Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus di tempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, dikalangan sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawuf, sebagai di kutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[3]

Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al shabr, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[4]

Dan Imam al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu: al-taubah, al-sabr,  al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifahdan al-ridla.[5]

Kutipan di atas memperlihatkan keadaan variasi penyebutan nama maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka di sepakati, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawadhu, al-mahabbah dan al-ma’rifah tidak di sepakati sebagai maqamat. Atas tiga istilah yang di sebutkan di atas terkadang  para ahli tasawuf menyebutnya sebaga imaqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai Hal dan ittihad ( terapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Adapun penjelasan dari ketujuh maqamat yang telah di sepakati di atas adalah sebagai berikut.

 1.      Al-Taubah

Al-taubah berasal dari bahasa arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkantaubat yang di maksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan di sertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang di sertai dengan amal kebajikan. Di dalam Al- Qur’an ban\yak di jumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat, di antaranya ayat yang berbunyi

šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó™$$sù öNÎgÎ/qçRä‹Ï9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR—%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#r•ŽÅÇム4’n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ

Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS: Al-Imran : 135)

 4 (#þqç/qè?ur ’n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tm•ƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ

Artinya: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS: An-Nur : 31)

2.      Al-Zuhud

Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud merupakan salah satu ajaran agama yang sangat peting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagian hidup di akhirat yang kekal dan abadi. Hal ini dapat di pahami dari isyarat ayat yang berbunyi.

$tBur äo4qu‹ysø9$# !$uŠ÷R‘$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â‘#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès?

Artinya : Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS: Al-An’am: 32)

4 $yJsù ßì»tFtB Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# ’Îû ÍotÅzFy$# žwÎ) î@‹Î=s% ÇÌÑÈ

Artinya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. (QS: At-Taubah : 38)

 3.      Al-Wara’

Secara harfiah Al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang artinya:

Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram. (HR. Bukhori)

Hadis tersebut menunjukan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakainan dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakainya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan.

 4. Kefakiran

Secara harfiah fakir berarti orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi adalah tidak meminta dari apa yang telah dimilikinya. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Atau juga tidak meminta tetapi juga tidak menolak.

 5. Sabar Atau Al-Sabr

Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Di kalangan sufi sabar di artiakan sabar dalam menjalankan printah-printah Allah Swt, dalam menjauhi larangan-Nya. Sabar dalam menunggu pertolongan Tuhan. dan sikap sabar sangat di anjurkan dalam ajaran Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9’ré& ÏQ÷“yèø9$# z`ÏB È@ߙ”9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4  ÇÌÎÈ

Artinya: Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.(QS: Al-Ahqaf: 35)

÷ŽÉ9ô¹$#ur $tBur x8çŽö9|¹ žwÎ) «!$$Î/ 4 Ÿwur ÷bt“øtrB óOÎgøŠn=tæ Ÿwur ہs? ’Îû 9,øŠ|Ê $£JÏiB šcrãà6ôJtƒ ÇÊËÐÈ

Artinya: Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.(QS: An-Nahl: 127)

 6.      Tawakkal

Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri.[6] Dan secara istilah bahwa tawakkal adalah keyakinan seorang hamba bahwa segala ketentuan hanya di dasarkan pada ketentuan Allah Swt.

Bertawakkal adalah perbuatan yang di perintahkan Allah dalam firman-Nya:

( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ’n?tãur «!$# È@©.uqtGuŠù=sù šcqãYÏB÷sßJø9$# ÇÊÊÈ

Artinya: Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.(QS: Al-Maidah : 11)

 8. Kerelaan

Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Dalam istilah lain ridla/rela dapat di artikan sebagai kerelaan atas segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa dll. Semua itu sufi memandangnya sebagai sifat yang baik dan terpuji bahkan dapat di artikan sebagai ibadat semata-mata karena mengharap ridha Alla Swt.

 C.    Pengertian Hal­/Ahwal

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dsb. Hal yang dapat di sebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), rasa trimakasih (al-Syukr).

D.    Perbedaan Antara Maqamat Dengan Hal

Hal berlainan dengan maqam atau maqamat, hal bukan di peroleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan. kemudian berbedaan selain itu, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan dan Hal sifatnya  lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri individu.

Selain melakukan berbagai usaha dan kegiatan yang di sebut di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut adalah: Riyadah ( melatih mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam), Mujahadah ( berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), Khalwat (menyepi atau menyendiri), Uzlah (mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan), Muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah) dan Suluk ( menjalankan hidupsebagai sufi dengan dzikir dan dzikir).

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa jalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniah dengan tuhan bukanlah jalan yang mudah.

 E.     Macam-Macam Hal/Ahwal

Hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[7]1.      Muraqabah

Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.

2.      Khauf

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.

3.      Raja’

Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.

4.      Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan  terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.

5.      Mahabbah

Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha.

Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.

6.      Tuma’ninah

Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.

7.      Musyahadah

Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,  musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.

8.      Yaqin

Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 A.    Kesimpulan

Menurut Para tokoh Tasawuf menjelaskan dalam artian yang berbeda , mengenai definisi Maqamat dan Ahwal tersebut. Tetapi secara umum yang digunakan sebagai berikut:

Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Setiap perjuangan ini dasarnya adalah perjuangan hal spiritual yang sulit untuk memerangi hawa nafsu yang termasuk didalamnya adalah sifat mementingkan diri sendiri pada manusia yang dianggap sebagai masalah besar yang merupakan hambatan dalam jalan kita menuju Rahmat Tuhan.

 B.     Saran

Pada dasarnya pendapat semua tokoh adalah benar adanya . tentu saja dengan inti yang sama pula. Namun dalam penerjemahan tersebut yang membedakannya. yang perlu kita uraikan dan telaah dalam hal ini bukanlah dari sisi perbedaan itu. Tetapi dari tujuan para tokoh membahas pengertian tersebut.Adalah agar kita memahami bagaimana sikap kita selanjutnya dalam menanggapinya dan mengamalkanya dalam kehidupan sehari – hari untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.


[1]. Muhmud Yunus, Kamusarab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), hlm. 362

[2]. Harun Nasution,  Falsafah Dan Mistisismedalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III,hlm. 62

[3]. Ibid. hlm. 62

[4]. Ibid. hlm. 62

[5]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Rajawai Pers, 2011 ), cet. 10, hlm. 194

[6] .  Mahmud Yunus, op. cit, hlm. 506

Tinggalkan komentar